Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksIndeks  PortalPortal  GalleryGallery  Latest imagesLatest images  PencarianPencarian  PendaftaranPendaftaran  LoginLogin  

 

 Pendidikan dan Lingkungan Sosial

Go down 
PengirimMessage
bilz_gandr0ck
Moderator
Moderator
bilz_gandr0ck


Male
Jumlah posting : 409
Age : 35
Lokasi : Rengasdengklok
Points : 481
Registration date : 24.02.09

Pendidikan dan Lingkungan Sosial Empty
PostSubyek: Pendidikan dan Lingkungan Sosial   Pendidikan dan Lingkungan Sosial I_icon_minitimeMon Mar 16, 2009 10:45 pm


Pendidikan Untuk Apa?
Apa sich tujuan pendidikan?. Demikian tanya seorang Profesor disuatu perkulihan. Diskusi dan perdebatan kemudian terjadi. Tidak terdapat kesimpulan yang pasti hingga perkuliahan berakhir. Dari sekian banyak pendapat ada satu ungkapan yang hampir di Amini semua orang: Pendidikan bertujuan untuk menjadikan anak didik sebagai “manusia” (humanisme). Mengapa demikian ?. Karena pendidikan akan sia-sia jika seseorang, kemudian menjadi “tidak berprikemanusiaan”, “egois” atau “menipu orang lain” .

Adakah sekolah yang mengajar orang menjadi penipu atau pembohong ?. Secara eksplisit hal ini mungkin tidak pernah terjadi. Namun harus dipahami, pendidikan sebagai proses belajar, tidak hanya kegiatan mendengar dan pencatat pelajaran di sekolah atau bangku kuliah. Bandura seorang pemikir yang mengusung teori pembelajaran sosial, seperti halnya Alfred. Y. Raimer, Ivan Ilich atau Paolo Piere pada intinya mereka berpendapat : “Pendidikan bukan hanya soal duduk dan belajar disekolah !”.

Melalui proses sosial, masyarakat dan pemerintah mungkin saja mendidik seseorang atau warganya menjadi, intelektual , kiai atau begundal bahkan provokator. Pada titik ini masyarakat tinggal memilih ingin dijadikan apa generasi mendatang. Jika proses sosial di “manage” dengan positif maka akan lahir generasi yang brilyan, namun jika sebaliknya, yach tebak saja sendiri apa hasilnya?

Pendidikan dan Proses Imitasi
Pendidikan sebagai upaya menjadikan generasi datang sebagai “manusia” tetunya tidak selesai jika hanya diperbincangkan lewat strategi persekolahan belaka. Walau harus diakui sekolah adalah pilar utama untuk menopang proses pendidikan.

Analisis terhadap beberapa fenomena yang berkembang pada generasi muda kita, sesungguhnya sangat refresentatif jika didekati dengan term “ proses pembelajaran sosial” seperti yang dianut oleh Bandura atau Ivan ilich dan kawan-kawan.

Sebagai contoh suatu kejadian di kampungku Banjarbaru, ketika kebut-kebutan menggila di seputar Lap Murdjani. Polisi dan Dishub mungkin saja benar, mengusulkan agar dipasang pita getar (Polisi Tidur) di seputar lapangan Murdjani. Upaya ini diharapkan akan menjadi resep yang “Ces-Pleng” agar mereka yang doyan ngebut menghentikan aktivitasnya.

Dilanjudkan dengan tindakan “refresif “, untuk menghalau para “racer jalanan” dengann “shock therapi” razia (tilang). Bisa dipahami jika aparat berseragam itu memiliki konsep berpikir demikian, karena sesuai dengan protap yang berlaku di kantor mereka dan bersifat syah dari sisi penegakan hukum.

Hasilnya upaya pemasangan pita getar sampai tindakan refresif aparat tidak membawa hasil yang menggembirakan. Jadi segala tindakan itu hanya menambah pekerjaan bagi mereka saja. Justeru setelah para remaja yang doyan ngebut itu diberi ruang, untuk penyaluran naluri balap mereka, pada akhir minggu. Kebut-kebutan telah berakhir masa kejayaannya. Yang menarik arena balap dadakan itu dikelola kalangan mereka sendiri, dan dilakukan di lapangan aspal Dr. Murdjani.

Namun pada level analisis kebijakan, pola pikir ini tidak boleh berhenti pada titik tersebut. Harus ada orang atau institusi yang berpikir: “Mengapa demikian banyak remaja yang kebut-kebutan (di Lap. Murdjani)?”. Salah satu referensi yang pernah saya baca dan pahami, pada diri remaja atau siapa saja terdapat sifat ingin meniru idola atau panutannya (proses imitasi).

Siapa yang di Imitasi?
Jika di simak pada hampir semua media memberitakan perkembangan balap mobil F1 (Formula 1), Grand Prix Super Bike atau Gran Prix 500. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan berita hangat dan laris dijual. Perhatikan saja terdapat banyak terbitan atau kolom yang khusus “ngomongin” sepeda motor/mobil dan segala tetek bengeknya. Banyaknya kolom itu dibaca (dibeli) para muda kita (ABG) kita adalah faktanya yang menunjukan berita ini memang digemari.

Secara sosiologis setelah menggemari, kemudian lahir Proses “imitasi”. Secara ringkas proses ini diartikan sebagai keinginan meniru, apa yang dilakukan oleh seorang idola. Jika para pembalap yang diidolakan, maka kebut-kebutan di jalan raya boleh jadi adalah bagian dari proses tersebut.

Pada bagian lain “Hot News” perkembangan kompetisi Sepak Bola seperti Liga serie A Italia, Inggris atau Spayol adalah berita dengan klasifikasi luar biasa digemarinya. Berita Liga basket Amerika yang (NBA) adalah kompetisi yang juga dicermati ribuan penggermarnya yang lazim disebut NBA Mania. Semua “Hot News” tersebut pada prinsipnya akan melahirkan upaya imitasi dari para penggemar.

Jika para menggemar berita F1, GP Super Baike atau GP 500, kemudian meng imitasikan diri dengan cara kebut-kebutan di jalan, dari telisik interaksi humanisme hal tersebut adalah sebuah “kewajaran”. Persoalannya kemudian menjadi runyam, ketika proses peniruan tersebut dianggap mengganggu keselamatan jiwa orang lain. Kerunyaman menjadi semakin “amburadul” ketika pengemar sepak bola tidak dapat mengimaitasi diri menjadi Cristiano Ronaldo atau Kaka, karena terbatasnya sarana olahraga. Demikian juga para NBA mania yang proses imitasinya terhalang karena tidak tersedianya fasilitas yang cukup.

Miskin dan kurangnya failitas bagi para muda yang ingin mengimitasi idolanya, pada akhirnya membuat kebuntuan penyaluran proses tersebut, jadilah para Sepak Bola mania, basket mania dan mania lainya, berbondong-bondong turut menonton proses imitasi dari mereka yang doyan “balap”.

Para “Racer Jalanan” sangat gampang melakukan proses imitasi, karena jalan raya ada dimana-mana, mereka punya sepeda motor kemudian Polantas kita belum kelihatan wibawanya. Disisi yang berseberangan para pembalap yang ditonton menjadi semakin bersemangat karena “stimulus yang tumbuh” dari para mania lain yang menjadi suporter mereka, sehingga kadang terlihat jadi semakin nekat.

Lalu Bagai mana?

Bercermin dari ini, orang tua, memerhati kaum muda, pengambil kebijakan atau aparat penegak hukum, sangat arief jika berdiskusi, kemudian memperbincangkan jalan keluar yang sifatnya terstrukur. Artinya mereka yang merasa tua dan berkuasa jangan hanya marah-marah saja, kemudian menuding dengan alasan basi seperti; kenakalan remaja, membahayakan jiwa orang lain, rembesan budaya asing, ajang narkoba dan banyak lagi stigma klise sejenis itu.

Pikirkan, rencanakan, pengembangan dan pemeliharaan ruang publik. Bina secara proporsional dengan serius icon-icon yang digemari para muda, seperi sepak bola, Bala basket, panjat dinding, Volly ball skater group (Skate Board), Scooter Club atau kegiatan-kegiatan seni, seperti Band remaja (kelompok Indy), Dance group, Cheer Leader dan kegiatan lainya yang sedang ngetren saat ini.

Banyak sekali peluang untuk merangkul para remaja atau kawula muda. Rangkulan ini akan membuat “proses imitasi” mereka akan beragam dan terarah sehingga tidak lagi menumpuk di satu tempat yang kemudian dirasa merepotkan banyak orang.

Suka atau tidak ABG saat ini adalah penentu bangsa kita pada masa datang, Perlakukanlah mereka dengan wajar, penuh empati dan kasih sayang. Satu hal lain yang juga harus diingat, apa yang pernah dilalui generasi terdahulu, proses dan situasinya tidaklah sama dengan proses dan kejadian yang saat ini berlangsung. Generasi yang tumbuh pada era 80 an sunguh berbeda dengan mereka yang tumbuh pada era 90 an demikian seterusnya.

Aksioma ini harus dipahami agar tidak ada monopoli pemikiran tentang pakem proses pembinaan para muda kita. Membicarakan ABG beserta pernak-perniknya dengan serius disertai pemecahan problem mereka. Menurut saya saat ini sangat bernilai strategis. Karena kita akan menjadi bangsa comberan atau tidak, akan sangat ditentukan dari rangkaiaan proses ini.

Seorang teman pernah mengeluh, kok politisi, birokrat atau para aktifis, sukanya cuma ngomong soal-soal politik tingkat tinggi, dengan intensitas dan kerapatan yang luar biasa, semisal setelah soal Perseteruan SBY dengan mantan anggota dewan dengan segala asumsinya, dan yang paling baru adalah di tetapkannya Laksamana Sukardi sebagai tersanggka pada kasus jual beli tanker. Hampir dapat dipastikan kemudian akan berlanjud dengan cerita lainnyai?. Pada tataran lokal berita siring depan mesjid raya dengan berbagai varian adalah “berita penting” yang terus memonopoli halaman media kita.

Jika hanya soal “politik” macam begini yang kita perbincangkan, maka timbul sebuah tanya “Dimana ABG kita berada?”. Kalapun ada yang membincangkan ABG biasanya hanya seputar mode, kegiatan ekskul yang sifatnya sporadik, bukan pemikiran terstruktur tentang akan di apakan para muda kita ini.

Terkesan perbincangan segala macam problem atau aspirasi para muda (ABG) kita tidak memiliki nilai jual politik, apa lagi mendongkrak populeritas, untuk sampai pada posisi sebagai tokoh, pengamat atau politikus yang disegani (padahal disegani itu penting ya?).

Lebih dari itu grurusin ABG atau bergaul dilingkungan mereka, kadang mendapat stigma yang tak mengenakan. Sebagaimana komentar seorang teman: “Pantas awet muda, urusannya dengan ABG terus sich”. Dengan segala kekonyolannya teman lain nyeletuk: “Hati-hati rumah tanggamu bisa jadi taruhan lho” Nah …. Jika seperti ini capeee deeh mikirnya…..
Kembali Ke Atas Go down
http://gandrock.blogspot.com
 
Pendidikan dan Lingkungan Sosial
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Pendidikan

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
 :: Formal :: Sosial dan Lingkungan-
Navigasi: